Sekilas Tentang Pulau Bawean ( Bawean Island ) Gresik , Jawa Timur , Indonesia
Bawean Island, Bawean Gresik, Bawean Airport, Pulau Di
Indonesia,Pulau Di Jawa Timur, Bawean Bandung, Bawean Semarang, Bawean Riau,
Bawean Madura, Bawean Resto, Bawean Surabaya, Bawean Airport, Pulau Di
Indonesia, Pulau Di Jawa Timur, Kabupaten Gresik, Sejarah Bawean
Transportasi Ke Pulau Bawean, Peta Pulau Bawean, Biaya Ke
Pulau Bawean, Paket Wisata Bawean, Tempat Wisata Pulau Bawean, Penginapan Di
Pulau Bawean
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bunga teratai di tengah lautan . Begitulah perumpaan Pulau
Bawean, yang letaknya berada di tengah-tengah Laut Jawa.
Ombak menerjang, angin mengempas, hujan mengguyur, dan sinar
matahari menyengat, namun pulau mungil yang berada di 80 mil sebelah utara
Pelabuhan Gresik itu tetap tak tergoyahkan.
Dulu Bawean dikenal dengan sebutan "Pulau Puteri"
karena mayoritas penduduknya kaum perempuan. Kaum lelaki Bawean umumnya
merantau ke negeri seberang.
Tapi sekarang julukan Pulau Puteri sudah jarang terdengar,
lantaran kaum hawa Bawean sudah banyak yang merantau pula ke luar negeri,
bahkan sebagian diantaranya sudah menjadi penduduk tetap negeri jiran, seperti
Malaysia dan Singapura.
Budayawan Bawean, Cuk Sugrito, mengemukakan masyarakat
Bawean dikenal teguh memegang tradisi dari nenek moyang termasuk perilakunya
yang agamais.
Ritual keagamaan yang menjadi tradisi Bawean, seperti
perayaan Molod, Saksakbenan, Mamaleman Kanak-kanak, dan Silaturahmi Lahir Batin
pada Lebaran Idul Fitri telah menciptakan rasa kebersamaan antar keluarga dan
masyarakat Bawean.
Ditinjau dari segi ekonomi, masyarakat Pulau Bawean boleh
dikatakan di atas rata-rata, karena mayoritas penduduknya adalah kalangan
perantau berhasil.
Di Pulau Bawean tidak ada pengemis, gelandangan, anak
jalanan, dan kaum penengadah lainnya, yang menghiba belas kasihan.
"Ini menunjukkan kentalnya kekerabatan antarmasyarakat
di pulau ini. Bagi mereka yang punya rejeki akan membantu saudaranya yang kekurangan,"
kata pendiri Bengkel Seni Bheku Bhei-Bhei saat ditemui di kediamannya di sudut
Alun-alun Sangkapura beberapa waktu lalu.
Keluarga yang bekerja di tanah rantau menjadi penyangga
hidup anggota keluarga yang tinggal di Pulau Bawean.
Para perantau itu mampu mendirikan rumah dengan disain
modern dengan bahan-bahan bangunan yang didatangkan dari Pulau Jawa. Mereka
juga mampu membeli mobil dan sepeda motor dengan biaya mahal, karena harus
menambah ongkos kapal untuk mengangkut menyeberangi lautan.
Bahkan orang Bawean mampu menyulap jalan-jalan di pedesaan
yang berbatu menjadi mulus dengan uang dari hasil memeras keringat di negeri
orang.
Kendati bergelimang harta benda tak ternilai, di Pulau
Bawean tidak ada pencopet, pencuri, dan perampok profesional. Hampir setiap
malam berbagai jenis kendaraan, seperti mobil dan sepeda motor dibiarkan berada
di luar rumah dalam keadaan tak terkunci.
Bahkan seorang perwira polisi dari Jawa yang baru bertugas
di Pulau Bawean sempat dibuat terheran-heran ketika mendapati sebuah sepeda
motor keluaran terbaru ditinggalkan oleh pemiliknya di pinggir jalan raya
selama lima hari dan empat malam.
"Sepeda motor itu tetap berada di tempatnya, tidak
berpindah sedikitpun, kecuali hanya ban depannya yang hilang," ujar
anggota Polsek Sangkapura itu mengingat kejadian yang tak pernah terbayangkan
sebelumnya.
Demikian dengan berbagai jenis hewan peliharaan, seperti
ayam, itik, domba, dan sapi bebas berkeliaran tanpa ada perasaan takut hilang
yang menghinggapi pemiliknya.
"Sungguh hidup di Pulau Bawean ini bagaikan tidur
berselimut kedamaian," kata Cuk Sugrito yang kedua orang tuanya berasal
dari Jawa itu.
Sangat masuk akal jika di pulau berpenduduk sekitar 69 ribu
jiwa ini tidak ada penjahat, karena cepat atau lambat pelakunya pasti akan
tertangkap lantaran luas pulau yang hanya sekitar 194,11 kilometer persegi
dengan dikelilingi jalan lingkar sepanjang 55 kilometer.
Apalagi jadwal perjalanan kapal penumpang dari Pulau Bawean
menuju ke Pelabuhan Gresik hanya dua kali dalam seminggu dan kapal barang hanya
satu kali dalam dua minggu.
"Jadi sangat tidak mungkin bagi penjahat yang hendak
melarikan hasil kejahatannya ke luar Pulau Bawean. Apalagi ombak di sekitar
Pulau Bawean relatif besar," kata Cuk Sugrito menduga-duga.
Orang Bawean selalu menyapa pada siapa saja, terutama jika
berpapasan di jalan. Terhadap orang yang belum dikenalinya, orang Bawean tidak
segan-segan menyapanya terlebih dulu kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan
daerah asal.
Lebih lanjut Cuk Sugrito memaparkan, kendati Bahasa Bawean
serumpun dengan Bahasa Madura, namun orang Bawean jauh berbeda dengan orang
Madura.
Di Pulau Bawean tidak ada Karapan Sapi, Tari Remo, nyanyian
Tanduk Majeng, senjata tajam berupa celurit, dan identitas lain yang biasa
melekat pada diri orang Madura.
Kesenian yang berkembang di Pulau Bawean seperti Jibul, Tari
Mandiling, Tari Saman, Korcak, Pencak Silat, Dikker, dan Kercengan justru lebih
dekat dengan budaya Melayu.
Bawean adalah sebuah pulau yang terletak di Laut Jawa,
sekitar 80 Mil atau 120 kilometer sebelah utara Gresik. Secara administratif
sejak tahun 1974, pulau ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Gresik, Provinsi
Jawa Timur. di mana tahun sebelumnya sejak pemerintahan kolonial pulau Bawean
masuk dalam wilayah Kabupaten Surabaya. Belanda (VOC) masuk pertama kali ke
Pulau ini pada tahun 1743.
Bawean memiliki dua kecamatan yaitu Sangkapura dan Tambak.
Jumlah penduduknya sekitar 70.000 jiwa
yang merupakan akulturasi dari beberapa etnis yang berasal dari pulau Jawa,
Madura, Kalimantan,Sulawesi dan Sumatera termasuk budaya dan bahasanya. Penduduk
Bawean kebanyakan memiliki mata pencaharian sebagai nelayan atau petani selain
juga menjadi pekerja di Malaysia dan Singapura, sebagian besar di antara mereka
telah mempunyai status penduduk tetap di negara tersebut, selain di kedua
negara itu penduduk bawean juga menetap di Australia dan Vietnam. Mayoritas
penduduk Bawean adalah Suku Bawean, dan suku-suku lainnya.
Bahasa pertuturan mereka adalah bahasa Bawean. Bukannya
bahasa Madura seperti yg dimaklumkan sebelum ini. Di Malaysia dan Singapura,
penyebutan suku ini berubah menjadi Boyan. Mereka menyebut diri mereka orang
Boyan,maksudnya orang Bawean.
Tokoh yang berasal dari Pulau Bawean yaitu Pahlawan Nasional
Harun Thohir, Yahya Zaini, Syekh Zainuddin Bawean Al Makki , Syekh Muhammad
Hasan Asyari Albaweani , dan keturunan bawean seperti Datuk Aziz Sattar dan
masih banyak lainnya.
Kata Bawean berasal dari bahasa Sanskerta, yang berarti ada
sinar matahari. Menurut legenda, sekitar tahun 1350, sekelompok pelaut dari
Kerajaan Majapahit terjebak badai di Laut Jawa dan akhirnya terdampar di Pulau
Bawean pada saat matahari terbit. Dalam kitab Negarakertagama menyebutkan bahwa
pulau ini bernama Buwun sedangkan dalam catatan Serat Praniti Wakya Jangka Jaya
Baya penduduk Bawean bermula pada tahun 8 Saka di mana sebelumnya pulau ini
tidak berpenghuni, Pemerintah Koloni Belanda dan Eropa pada abad 18 menamakan
pulau ini dengan sebutan Lubeck,Baviaan,Bovian,Lobok, Awal abad ke-16 tepatnya
pada tahun 1501 agama Islam masuk ke Bawean yang dibawa oleh Sayyid Maulana
Ahmad Sidik atau yang dikenal dengan nama Maulana Umar Mas'ud atau Pangeran
Perigi sekaligus menjalankan tata pemerintahan di Pulau Bawean selanjutnya
Pulau Bawean di pimpin oleh keturunan Umar Masud seperti Purbonegoro,
Cokrokusumo dan seterusnya hingga yang terakhir Raden Ahmad Pashai. Pada tahun
1870-1879 Pulau Bawean menjadi Asistent Resident Afdeeling dibawah Resident
Soerabaya pada masa inilah Pulau Bawean di bagi menjadi dua kecamatan yaitu
kecamatan Sangkapura dan Kecamatan Tambak yang di pimpin oleh seorang Wedana
dengan Wedana terakhir bernama Mas Adi Koesoema ( 1899-1903)
Bawean sering disebut juga Pulau Putri karena banyak
laki-laki muda yang merantau ke pulau Jawa atau ke luar negeri. Orang Bawean
yang merantau ke Malaysia dan Singapura membentuk perkampungan di sana. Di
negeri jiran masyarakat Bawean dikenal dengan istilah orang Boyan. Banyak juga
para perantau ini yang berhasil dan menjadi orang terkenal di Indonesia,
Malaysia maupun Singapura.
Peta Bawean ( tahun 1780)
Gudang Militer VOC di Pelabuhan Sangkapura ( tahun 1851)
Suasana Perayaan Maulid di Pulau Bawean
Pantai di pulau Noko (tahun 1953)
Dermaga Apung di Pulau Gili Noko Bawean
Dalam legenda pulau putri, pulau bawean tempat berlabuhnya
keluarga dari kerajaan Campa yang akan menuju pulau Jawa, mereka berlabuh
dikarenakan Putri raja tersebut sakit, dan konon meninggal di bawean, untuk
menhormati sang putri pulau tersebut dinamakan pulau putri. Sampai sekarang ini
makamnya masih ada tepatnya berada di desa Kumalasa yang dikenal sebagai makam
jujuk Campa.
Di Bawean terdapat spesies rusa yang hanya ditemukan
(endemik) di Bawean, yaitu Axis kuhli. Selain itu di Pulau Bawean juga ditanam
manggis, salak, buah merah, dan durian untuk konsumsi lokal. Puluhan spesies
ikan laut juga terdapat di pantai pulau ini.
Mayoritas penduduk Bawean beragama Islam, sedangkan penduduk
non-Muslim biasanya adalah para pendatang. Yang khas dari Bawean adalah batu
onyx. Sejenis batu marmer. Batu ini dijadikan hiasan dan juga lantai. Selain
itu juga ada "buah merah". Ini berbeda dengan buah merah asli papua.
Bentuknya bulat seperti apel. Namun ada yang seperti ini di Magetan tetapi
warnanya agak kuning. Buah Merah di Bawean terbagi dalam 2 jenis, satu warna
merah dan yang kedua berwarna kuning, yang berwarna kuning di bawean dikenal
dengan jenis Buah Merah Mentega, buah jenis ini (buah merah) juga tumbuh di
daerah lain seperti juga di magetan, tetapi buahnya cenderung kecil bila
dibandingkan di bawean, dan di daerah lain lebih dikenal dengan nama buah
mentega.
Bahasa Bawean ditengarai sebagai kreolisasi bahasa Madura,
karena kata-kata dasarnya yang berasal dari bahasa ini, namun bercampur aduk
dengan kata-kata Melayu dan Inggris serta bahasa Jawa[31][32] karena banyaknya
orang Bawean yang bekerja atau bermigrasi ke Malaysia dan Singapura, Bahasa
Bawean memiliki ragam dialek bahasa biasanya setiap kawasan atau kampung
mempunyai dialek bahasa sendiri seperti Bahasa Bawean Dialek Daun, Dialek
Kumalasa[33] , Dialek Pudakit dan juga Dialek Diponggo. Bahasa ini dituturkan
di Pulau Bawean, Gresik, Malaysia, dan Singapura [34]. Di dua tempat terakhir
ini Bawean dikenal sebagai Boyanese. Intonasi orang Bawean mudah dikenali di
kalangan penutur bahasa Madura. Perbedaan kedua bahasa dapat diibaratkan dengan
perbedaan antara bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia[35], yang serupa tetapi
tak sama meskipun masing-masing dapat memahami maksudnya. Contoh-contoh:
eson atau ehon =
aku
kalaaken =
ambilkan
tak kabessanyo'on/
naddeh nyo'on = terimakasih
olo = kepala
sakotik = sedikit
kathirik = sendiri
toghellen =
kerabat/saudara
Contoh Bahasa Bawean:
Eson terro ka
be'na = Saya sayang kamu (di Bawean ada juga yang menyebutnya Ehon)
Buk, bede berrus?
= Buk, ada sikat? (berrus dari kata brush)
Mak, pamelleaken
pellem = Mak, belikan mangga ( ada pengaruh Jawa kuno di akhiran -aken).
Silling na se
bucor la mare e pabender = langit-langit nya yang bocor sudah diperbaiki (
silling bahasa bawean dipengaruhi bahasa melayu (inggris : ceiling ), langit-langit
dalam bahasa asli bawean adalah "Sentek" )
Araa..mak ghik
bede edinnak, ekowa la alajer ka singgapur = Kenapa...kok masih disini, katanya
sudah pergi berlayar ke singapura ( kata 'Araa' dari kata arapah dalam Bahasa
Madura , kata alajer (Berlayar) untuk menunjukkan orang bawean pergi keluar
dari pulau Bawean )
====Sejarah Versi Beda===
Nama BAWEAN muncul pada abad ke 13, nama ini di berikan oleh
Prajurit Majapahit (salah satu kerajaan terbesar di nusantara) yang berlabuh di
bawean setelah kapalnya terkena badai dan menyebutnya BAWEAN yang di bahasa
sansakerta berarti matahari terbit. Berdasarkan manuskrip yang ada di
sangkapura, pulau bawean ini sebelumnya dikenal dengan sebutan Pulau Majdi
karena bentuknya bundar seperti uang logam.
sebelum islam masuk ke pulau bawean, masyarakat bawean
menganut paham animisme ( penyembah roh dan kekuatan gaib), hal ini bisa di
telusuri dari cerita adu kesaktian antara Maulana Omar Mas’od VS Raja
Babileono. Raja babileono seorang penyihir animisme yang sakti mandraguna.
Namun berkat pertolongan Allah SWT Omar Mas’od bisa
mengalahkan raja babileono.Ada juga yang menyebut BAWEAN = babi jadian, babian
===> ini hanyalah masalah pronounciation, karena bahasa bawean mendapat
unsur pengaruh dari bahasa madura dimana huruf W dibaca menjadi B. terkenal
cerita bahwa Raja Babileono adalah seorang raja yang gemar memelihara babi dan
mempunyai ternak babi yang banyak sekali.
sehingga raja Babileono dikenal juga dengan sebutan Raja
Babi. pada masyarakat animisme memelihara babi sudah menjadi biasa, bahkan
hewan babi itu juga disembelih dijadikan makanan . seperti pada masyarakat
Dayak di Borneo yang masih memelihara babi.
Kisah
Keikhlasan Sang Pembela Orang Fakir
Di tengah
– tengah laut Jawa terdapatlah sebuah pulau yang kecil nan menawan yaitu Pulau
Bawaen. Bawean adalah satu-satunya pulau yang semuanya penghuninya beragama
Islam. Bila dicari dalam peta Indonesia yang ukurannya kecil maka Pulau Bawean
tidak tampak, tapi jika dalam ukuran yang besar maka Pulau Bawean hanya tampak
senoktah. Pulau Majeti ini terdiri dua kecamatan, Sangkapura dan Tambak.
Meskipun
kecil, Pulau Bawean memiliki banyak lagenda, konon peradaban Jawa dimulai dari
Bawean. Aksara Jawa yang diciptakan oleh Ajisaka adalah awal peradaban Jawa.
Sebelum ke Jawa Ajisaka dan kedua muridnya yaitu Dora dan Sembada, singgah di
pulau ini. Kemudian Dora mengiringi sang guru ke Jawa Dwipa sedangkan Sembada
ditugasi menjaga pusaka Ajisaka yang sengaja ditinggal di Bawean. Kini makam Dora
dan Sembada berada di Jherat Lanjheng desa Lebak Sangkapura. Keduanya terbunuh
karena sama-sama setia dengan titah Ajisaka.
Seperti
yang telah dipaparkan oleh Zulfa Usman ( Buku Pulau Putri) , diantara legenda
Bawean adalah terjadinya kesalahfahaman antara orang Patar Selamat dengan Jujuk
Tampo yang mengakibatkan terbunuhnya Jujuk Tampo.
Di Tampo,
desa Pudakit Barat, terdapat kuburan tua yang Dikeramatkan oleh masyarakat
setempat, mereka menyebutnya kuburan “Jujuk Tampo”, yang diyakini
seorang wali. Jika bicara tentang validitas datanya, sepertinya tidak ada bukti
tertulis yang menguatkan baik dari data sejarah maupun silsilah keluarganya.
Cerita ini hanya diwariskan dari mulut kemulut. Jujuk Tampo adalah seorang
muballigh Islam.
Menurut
juru kunci makam Jujuk Tampo yakni bapak Mustakim, jika dilihat dari batu
nisannya, kemungkinan besar, usia jujuk tampo ini lebih tua dibandingkan
Maulana Umar Mas’ud yang makamnya ada di Sangkapura.
Makam
Jujuk tampo dan istrinya, letaknya lebih tinggi sekitar 2 meter dari tanah,
luas halamannya kurang lebih 30 m persegi. Para peziarah tidak boleh naik dan
berjalan sembarangan, terutama bagi peziarah yang mempunyai nadzar.
Berikut
adalah kisah Jujuk Tampo versi Bapak Halimi (alm) seperti yang dituturkan oleh
Bapak Mustakim.
Nama lain
dari “Jujuk Tampo” adalah “Syekh Maulana Makdum Ibrahim”, nama ini adalah nama
kecil Sunan Bonang. Beliau dikenal baik dan berkepribadian shaleh serta
mempunyai banyak keistimewaan. Beliau memiliki perilaku aneh menurut orang
kebanyakan , yaitu sering kali memungut rezeki dari orang-orang kaya untuk
diberikan kepada orang-orang miskin. Ia biasa mendatangi orang-orang kaya di
desanya ataupun di tempat lain. Kecintaanya kepada orang papa sungguh luar
biasa. Kebiasaan memungut zakat dan sedekah dari orang kaya ini beliau jalani
sepanjang hidupnya. beliau tidak memperdulikan cemoohan, cibiran dan gunjingan
orang-orang yang enggan berzakat. Demi membela orang-orang fakir dan miskin
beliau rela mempertaruhkan harga dirinya dimata manusia.
Suatu
hari Jujuk Tampo bertemu dengan seorang pemuda yang datang dari desa Patar
Selamat yang sedang kelelahan dan kebingungan karena kehilangan seekor sapi.
Beliau menyarankan agar si pemuda tadi pulang saja karena sapinya tidak bisa
ditemukan. Segera si pemuda mengikuti apa saran Jujuk Tampo. Ia pulang dengan
tangan hampa. Setiba dirumah, si pemuda tadi menceritakan tentang pengalamannya
yakni bertemu dengan Jujuk Tampo yang menganjurkan untuk pulang saja.
Beberapa
saat kemudian, tiba-tiba si pemuda meninggal dunia. Sang ayah yang shok
menyangka bahwa anaknya telah di sihir oleh Jujuk Tampo. Keesokan harinya dia
pergi menemui Jujuk Tampo untuk menuntut balas kematian anaknya. Setelah
bertemu segera sang ayah tadi menghardik Jujuk Tampo dengan menuduhnya sebagai
tukang sihir. Jujuk Tampo menjelaskan bahwa ia tidak menyihir si pemuda.
Perdebatan tak terelakkan.
Untuk
mengakhiri kesalahpahaman ini Jujuk Tampo menawarkan solusi yakni ia bersedia
dibunuh. Jika nanti darah yang keluar berwarna merah maka berarti Jujuk Tampo
memang bersalah. Tapi sebaliknya jika darah yang keluar nanti berwarna putih
maka berarti Jujuk Tampo tidak bersalah dan orang Patar Selamat tidak boleh
menginjakkan kakinya di Tampo untuk selamanya.
Segera
sang ayah tadi menusuk perut Jujuk Tampo. Ajaib, darah yang semburat keluar
berwarna putih. Dengan demikian maka teranglah bahwa Jujuk Tampo tidak
bersalah. Ayah tadipun menyesali dirinya yang telah gegabah menuduh Jujuk Tampo
yang shaleh sebagai seorang penyihir. Kutukan Jujuk Tampo masih berlaku hingga
sekarang.
0 komentar: